saatnya kita memimpin…..

Posted March 4, 2008 by hio
Categories: .: Kabar Gembira!

Kalu ndak salah 170 hari lagi akan ada pesta demokrasi di Propensi kita…

Siapa yang patut memimpin di era demoratis dan pada tataran masyarakan yang sudah terlanjur skeptis???

Cuwex… luweh… embohh…. ra reti… e-lah… gambaran kebanyakan masyarakat…. termasuk aku kali ya….?

Rasa skeptis pastilah akan berubah optimis ketika salah satu kita harus memimpin…

Pak Joko Prasetyo, SE.MM….. siapa yang ragu akan leader ship-nya dengan segudang berorganisasinya??

Dokter. Aji Prasetyo…. yang sampai sekarang belum “kaya” <masih sederhana> karena tidak begitu tega untuk “menggorok” pasiennya ..

Dodik Prasetyo, ST… opo yo??… o yo.. pemikir dan cendikiawan alumni ITB??

Hoiii…. dimana alumni SMANSA’ 94??? SUDAH SAATNYA KITA MEMIMPIN…!!!!!!

ba ba ran…..

Posted March 1, 2008 by hio
Categories: .: Kabar Gembira!

Allhamdulillah….

Telah lahir anak perempuan kami dengan panjang 4.9cm dan berat 2.9 kg dengan selamat di RSIA Tambak, Manggarai tanggal 29 Feb pukul 15.15.

Terimakasih atas doanya selama ini

Salam,

Anas Bachtiar & Ditya

kumpul konco’ 94

Posted February 28, 2008 by hio
Categories: .: Reuni

kapan yo aku kok lali tanggale….

sing jelas acara dadakan kumpul konco’ 94 rong <2> bodho <lebaran> kepungkur tahun 2006 nek ra salah < hoiii sing kelingan ngandani yoo!!!>..

luwih eling acarane ora ngango konsep, ora ono panitia nganti radi mumet aku…. yo tapi syukur iso kumpul kurang luweh wong seketan….. he..he.. luwih eling duwit thu-thukan <spontan> turah satus ewu….. hoii Riz kok gowo tho turahane…

ben tambah eling ta’ duduhi gambare yo, tapi mung sithik…. aduh… malah gambarku dewe ra ono. Tu….restu…. koyoke kowe kae yo moto to… upload yo… ben konco liane iso nonton wong sing saiki podo lemu2….he..he… pak Joko Prasetyo ojo kawatir konco SMA mu wis lemu2 kabeh podo sampean….. hidup gembrottttt.

iki poto-potone…

r2.jpg  r4.jpg  r3.jpg  r5.jpg  r6.jpg  r7.jpg  r8.jpg  r9.jpgr10.jpg  r1.jpg

piye sing ijik ajek Djlamprong…geringe, Restu…..mbujangee, Dodik yo Topi yo Borjo….ijik jokone…..mungkin?

Sosial-2′ 94

Posted February 28, 2008 by hio
Categories: Kelas Sosial { A3-2 }

Woiiii…para copet, garong, preman, drunker….rapatkan barisan…

AYOOO INSYAAAAFFFFFF…..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Dengkur Seorang Istri

Posted February 28, 2008 by hio
Categories: .: Artikel

Oleh : Prie GS – Budayawan dan penulis SKETSA INDONESIA
Seorang suami marah demi mendapati istrinya punya kebiasaan tidur mendengkur. “Wanita kok mendengkur,” katanya. Ia merasa berhak marah, karena dengkur bukanlah kebiasaan yang boleh dilakukan oleh para istri dan perempuan pada umumnya. Di mata suami seperti ini, istri adalah pihak yang harus selalu jelita, tidak boleh terlihat buruk rupa apalagi ada dengkur di tidurnya.
Tuntutan semacam ini bersemayam dengan sangat baik di dalam benak banyak pria, sehingga sedikit saja istri menampakkkan soal-soal yang dianggap tidak patut, suami merasa boleh kembali jatuh cinta.

Seorang istri memang memiliki tugas-tugas artistik di hadapan suaminya. Tapi jangan dikira seorang suami tidak. Jangan dikira cuma suami yang berhak terganggu oleh dengkur istri, karena istripun pasti sangat terganggu mendengar dengkur suami. Jadi, tugas artistik ini adalah kewajiban siapa saja. Konon, sebelum Roy Marten ngetop sebagai bintang film, sejak muda ia telah banyak digandrungi wanita. Ini patsi karena dia keren. Maka tugas menjadi keren adalah kewajiban siapa saja, termasuk suami di mata istri. Jadi, seorang suami yang lalai menjadi keren, harus memaklumi jika istrinya jatuh cinta lagi ke lain pria.

Tapi soal dengkur tadi pasti bukan persoalan artistik lagi. Dengkur itu pasti terjadi karena berhubungan dengan hidung. Dan hidung itu pasti bukan cuma milik laki-laki tapi perempuan juga. Bukan cuma milik suami tapi juga istri. Memaksa hidung untuk sama sekali terbebas dari dengkur sama saja dengan memaksa paru-paru terbebas dari bernafas. Ini tidak mungkin. Kenapa untuk soal-soal yang sudah jelas tidak mungkin, kita sering memaksanya menjadi mungkin.

Banyak ketidakmungkinan yang kita paksa menjadi kemungkinan cuma karena prasangka. Prasangka bawa kedudukan kita lebih mulia dibanding yang lain.
Kepada pihak lain yang keras dengkurnya kita boleh memandangnya hina, seolah-olah tidur kita telah sama sekali bebas dari dengkur serupa. Bahwa jika pun kita mendengkur, dengkur kita itu seolah-olah pasti dijamin lebih indah katimbang dengkur tetangga. Padahal dengkur adalah teman tidur siapa saja. Tak peduli pria wanita, tak menghitung diri sendiri atau tetangga. Dan saya jamin, dalam keadaan mendengkur, seluruh wajah kita, berada dalam posisi terburuknya. Keadaan tidur yang cantik, cuma ada dalam sinetron yang akting pemain-pemainnya masih jaim, yang bahkan dalam keadaan tidur pun harus tetap terlihat keren.

Jadi kenapa keburukan yang ada di dalam sendiri ini, menjadi begitu buruknya ketika sedang berada di dalam diri tetangga.
Kepada pihak yang sedang begitu masam bau keringatnya, kepadanya kita muaki sedemikian rupa seolah-olah bahwa kemasaman serupa tidak pula berada di ketiak kita. Kenapa untuk sesuatu yang jelas kita miliki, tidak boleh dimiliki pihak lainnya. Kenapa untuk sesuatu yang begini dekat, sering kita pandang begitu jauhnya. Kepada bau yang ada di dalam sendiri, seolah-oleh menjadi bau yang diharamkan ketika ia diaromakan oleh tubuh tetangga. Kepada dengkur yang juga ada di hidung kita sendiri, tiba-tiba menjadi dengkur terlarang ketika disuarakan oleh hidung pasangan kita.
Saya tidak sedang mengajak Anda bergembira mendengar suara dengkur atau menyukai keasaman keringat. Saya cuma sedang takut jika saya menjadi begitu angkuh kepada sesuatu yang seluruhnya juga ada di dalam diri saya.

Lidah Simon Cowell

Posted February 28, 2008 by hio
Categories: .: Artikel

Oleh : Prie GS – Budayawan dan penulis SKETSA INDONESIA

Dari kaget lama-lama menjadi takjub, itulah perasaan saya setiap melihat Simon Cowell bicara. Dunia tahu siapa orang ini, terutama penonton American Idol. Ia adalah salah seorang juri yang paling dibenci peserta karena kata-katanya. Jika rem, mulut Simon adalah rem blong. Ia akan menyambar apa saja yang ada di depannya meskipun taruhannya harus mati bersama. Itulah watak rem jika sudah blong. Tetapi bahwa Simon masih hidup sampai sekarang dan ia tidak dikeroyok massa, adalah fakta yang menakjubkan. Kesimpulannya, rem orang ini memang blong, tetapi ia pasti pengemudi yang hebat karena hingga kini masih selamat. Ia bukan cuma masih hidup, tapi juga kaya raya.Pertama kali melihat gaya Simon bicara, bulu kuduk saya meremang. Bagaimana bisa ia demikian telengas memaki siapapun yang ada di depannya. Para peserta kontes Idol itu, adalah anak-anak muda yang masih rapuh. Kalah kontes saja sudah kesakitan luar biasa, apalagi kalah sambil dihina. Mereka akan habis dalam sekejab dilumat agresi dan destruksi Simon. Dan seluruh dari gaya Simon adalah kumpulan dari keduanya: ia tidak cuma mengagresi, tetapi juga mendestruksi. Bagaimana mungkin manusia setega itu dibiarkan hidup dan malah jadi juri, batin saya ngeri.

Tapi untunglah, dari ngeri saya berbalik geli. Eh, Tuhan pasti sedang menyodorkan teka-teki dengan menciptakan orang-orang seperti Simon ini. Pertama, sulit membayangkan American Idol tanpa kehadirannya. Maka Simon ini sesungguhnya pasti tidak jahat, melainkan sekadar terbiasa mengatakan kebenaran. Indonesia Idol menjadi kontes yang memukau, pasti karena dibangun dengan etos kebenaran semacam ini. Mencari yang benar itulah formulanya. Orde Baru, menjadi Orde yang tragis, pasti karena sedikit saja waktu itu dari kita yang berani mengatakan kebenaran. Karena betapa tidak mudah memang, mengatakan yang benar kepada pemimpin, karena ia tidak selalu enak di pendengaran.

Simon menempuh cara sebaliknya. Ia tidak menjilat kepada penonton. Ia bukan tidak mengerti tips untuk ditepuki. Jika mau mudah saja baginya memancing tepukan. Tetapi hal itu tak ia lakukan, karena selalu ada jenis tepuk tangan yang bersilang jalan dengan kejujuran. Tepuk tangan fans terutama, pasti lebih bermodal perasaan katimbang kejujuran. Maka membayangkan Simon Cowell sebagai pihak yang jujur, pihak yang mau menjadikan dirinya sebagai korban demi kejujuran, membuat saya berubah pendirian. Orang ini, dikirim ke dunia pasti bukan untuk menyakiti sesama, melainkan untuk mengajari kita kuat sakit di hadapan kenyataan.

Karena kepada yang benar, Simon adalah seorang penyayang yang nyata. Adegan ini buktinya: ketika seorang peserta audisi ada yang begitu buruk nyanyiannya. Semua juri hendak meledak oleh tawa saat peserta perempuan ini membuka suaranya. Benar-benar lebih mirip ringkik kuda. Tetapi apa keputusan Simon? Ia tidak menjatuhkan vonis seperti biasa. Ia malah menyuruh peserta ini menata kembali diri. Ia tahu suara peserta ini tidak jelek. Ia sejatinya unik. Ia hanya salah baca terhadap dirinya sendiri. Ia memaksa dirinya menjadi orang lain. Ia salah melakukan identifikasi dan mencari peta pada idola yang keliru. ‘’Cari dan dengar lagu Dolly Parton, pelajari dan kembali ke sini,” perintah Simon.

Dan benar, setelah diingatkan akan Dolly Parton, peserta ini kembali ke medan audisi sebagai pribadi yang sama sekali berbeda. Ada nyawa terpendam dalam dirinya, dan nama Dolly parton membuat peta keunikan itu muncul nyata. Jelas, pekerjaan Simon adalah menunjukkan jalan, meskipun caranya bisa saja menyakitkan. Di sekitar kita, ada pribadi seperti Simon ini. Mungkin ia tidak hangat sebagai teman, tidak artistik sebagai partner diskusi, terlalu ketus dan mudah menyakti, memuakkan sebagai pemimpin… tapi kuatlah menerima seluruh kesakitannya. Ia diam-diam sedang membimbing kita menemukan jalan.

Kita Adalah Orang-orang Yang Menunggu

Posted February 28, 2008 by hio
Categories: .: Artikel

Oleh : Prie GS – Budayawan dan penulis SKETSA INDONESIA

 

Setiap kali saya merasa aneh setiap melihat tukang tambal ban. Keanehan terjadi ini membuat saya tidak tahan dan terpaksa jadi tulisan. Amatilah, jika sedang tidak ada kerjaan, tukang tambal ban ini pasti memandang kejauhan, kadang kosong dan menerawang. Ada berjubel imajinasi di kepalanya, tapi hampir satu yang pasti, datangnya ban bocor adalah soal yang paling dia bayangkan. Dan fakta bahwa orang ini sudah bertahun-tahun menjalani profesinya, adalah bukti bahwa ban bocor itu setiap hari ada. Dan bahwa ada ban yang selalu dibocorkan oleh keadaan hanya untuk memberi rezeki orang ini  saya kira jauh lebih ajaib katimbang Borobudur  dan Air Terjun Niagara. Itulah kenapa menunggu  adalah kegiatan yang menakjubkan saya karena ia adalah bentuk  usaha tertinggi yang bisa dilakukan manusia.

Apa yang bisa kita kerjakan selain menunggu? Benar ada seminar, ada motivasi, ada kursus ketrampilan, kursus kepribadian, manajemen cepat kaya dan  sebagainya. Tetap setelah  semua itu dilakukan, pekerjaan  terakhir tak ada. Menunggu itulah akhirnya. Seluruh dari kita ini tak lebih dari kaum penunggu. Maka di  dalam  caramu menunggu itulah terletak martabat hidupmu, begitu nasihatku kepada diriku.

Tukang tambal ini, akan saya anggap gugur mutunya jika sambil menunggu ia ternyata menabur-naburkan paku di lokasi terentu. Sambil menunggu dagangannya laku, seorang pedagang memang bisa merekayasanya dengan cara memfitnah pesaingnya atau malah mensabot usahanya. Sambil menunggu kekuasaan datang kepadanya, seorang politikus memang bisa melancarkan kampanye hitam untuk kompetitornya. Tetapi saya pasti tidak sedang bicara tentang orang-orang seperti itu karena kepada mereka telah disematkan status yang jelas; kaum rendah perilaku.

Tapi saya pasti sedang bicara tentang  seorang tukang tambal ban yang  ketangguhannya setara dengan burung-burung yang pagi terbang petang pulang dengan tembolok kenyang. Yang dilakukan burung ini hanya sebatas  terbang dan  ia tak peduli apakah bursa saham anjlok cuma gara-gara kredit perumahan. Yang dia lakukan tukang tambal ini tak lebih hanya duduk menunggu tanpa peduli apakah apakah Honda dan Toyota masih akan memproduksi mobil-mobil mereka ke Indoneisa. Yang dilakukan orang ini hanyalah satu: menunggu. Tetapi di dalam  saat menunggu inilah terletak dialog paling intensif antara manusia dengan keterbatasannya. Maka menunggu, sesungguhnya adalah kegiatan yang harus dilakukan dengan gembira, karena itulah saat paling menguji mutu kita sebagai manusia.

Ketika usia SMA, saat-saat paling berat dalam hidup saya adalah menunggu kartun saya di muat di media massa. Karena cuma itulah harapan saya satu-satunya dalam memperoleh uang. Tak terbayangkan marahnya hati ini jika sudah dikirimi berkali-kali tetapi tetap tak ada yang dimuat juga. Ingin rasanya saya mengobrak-abrik kantor redaksi media itu. Ingin saya mengajak orang sekampung untuk mengeroyok redakturnya hingga hancur-lebur.  Bahagia rasanya membayangkan redaktur yang kejam itu babak belur dikeroyok massa.

Walau ternyata tidak. Kebahagaian yang sesungguhnya ternyata saya dapati ketika saya berlaku sebaliknya yakni dengan cara terus menggambar, terus mengirim dan terus menunggu. Pada saat kartun iu muncul untuk kali pertama, rasanya seluruh dunia seperti hendak  meledak oleh kegembiraan saya. Waktu itu, bahkan terpilih menjadi presiden Amerika pun tidak akan sanggup melawan kegembiraan saya.

Ular Phyton Kekenyangan

Posted February 28, 2008 by hio
Categories: .: Artikel

 Oleh : Prie GS  Budayawan dan penulis SKETSA INDONESIA

Ular phyton yang dipotret oleh wartawan Reuter ini menakjubkan saya. Detail ceritanya tak perlu saya anggap penting tetapi soal-soal berikut inilah yang menyita perhatian saya. Pertama adalah panjang ular yang cuma 6 meter, tetapi sanggup menelan biri-biri bunting seberat 90 kilogram. Untuk ukurannya, ular ini bisa jadi besar dan panjang. Tapi untuk ukuran hewan yang dimangsanya, ular ini sungguh binatang tak tahu diri.

Apa akibatnya? Reptil ini segera berubah menjadi seperti gumpalan. Tubuhnya menggelembung seperti bola besar dan ia hanya bisa teronggok tak berdaya. Jangankan lari dari manusia yang hendak menangkapnya, bahkan berkedip pun (jika ular bisa berkedip) rasanya ia tak berdaya. Jarang saya melihat mulut ular ngowoh, alias menganga. Tapi mangsa yang ditelannya, biri-biri bunting itu, benar-benar sanggup memaksa ular ini berekspresi sebagai ular paling dogol di dunia. Sehabis makan, hewan yang dia sangka rezeki itu, ia cuma menjadi bahan tontonan manusia, dengan aneka perasaan. Perasaan itulah yang hendak saya ceritakan.

Pertama adalah rasa takjub. Betapa luar biasa alam ini dalam menciptakan fenomena kelenturan. Watak lentur itu, jika dipraktekkan, bahkan bisa menggulung apa saja, bahkan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Itulah kenapa orang-orang lentur, jika ia orang susah misalnya, adalah orang yang tahan menghadapi penderitaan. Itulah kenapa banyak tokoh mencetak karya-karya besar justru saat di penjara. Banyak ilmuwan sempurna ilmunya ketika ia disekap dalam kamp-kamp konsentrasi. Jika seseorang memperagakan kelenturan, bahkan derita pun tak sanggup menjamahnya, tapi malah membesarkannya.

Kedua adalah rasa jengkel. Tapi betapapun lentur ular ini, ia telah menjadi angkuh dengan kelenturannya. Mentang-mentang ia bisa menggulung apa saja yang lebih besar dari tubuhnya, tapi jika sesuatu telah melebihi takarannya, hasilnya cuma marabahaya. Ia memang sukses menelan mangsa spektakuler dan bisa bercerita kepada tetangganya sesama ular, betapa tinggi pretasinya itu karena telah sanggup menelan biri-biri, bunting lagi. Tetapi pihak yang terlalu obsesif pada prestasi sehingga gelap pandangannya atas keseimbangan, adalah pihak yang sedang bunuh diri.

Ketiga adalah rasa geli. Meskipun saya jengkel kepada hewan ini atas ketololannya namanya juga cuma ular. Jika ia mau menjadi sedikit lebih cerdas, tentu ia telah berpindah kelas menjadi setingkat hewan di atas ular. Maka melihat ada hewan yang cuma menjadi korban ketololannnya tanpa pernah menyadarinya, adalah sebuah humor yang luar biasa. Melihatnya berubah cuma sebagai gumpalan besar dengan mulut menganga, dan bahkan anak-anak pun tertawa melihatnya, tentu merupakan hiburan. Karena melihat pihak yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, selain mendatangkan kemuakan, pasti juga mendatangkan kegelian.

Keempat adalah perasaan iba. Betapapun ular ini hanyalah seekor ular yang terpaksa. Barangkali ia tak sanggup lagi mencari mangsa yang cocok untuk tubuhnya. Bisa jadi habitatnya telah rusak sehingga tikus, kucing dan ayam hutan telah tak lagi mudah ditemukan akibatnya ia harus melahap apa saja. Ketika tikus tak ada, biri-biri pun jadi, walau hasilnya adalah petaka. Tak ada soal yang mengharukan, selain melihat derita hasil dari sebuah kemalangan dan keterpaksaan. Ular ini barangkali datang dari jenis yang papa dan sengsara karena manusia tak lagi memberi ruang kepadanya.

Terakhir adalah tertegun. Punya hak apa saya melecehkan tindakan ular ini, jika manusia sepertiku pun sering mempraktekkan kelakuan yang sama malah bisa lebih gila. Manusia seperti saya ini tidak cuma suka menelan sesuatu yang lebih besar dari tubuhnya, tetapi juga terlalu amat besar sekali. Kelaparan ini, kadang tak cukup hanya diisi dengan nasi tetapi juga aspal , pasir, batu, gunung, pulau dan beras selundupan. Dibanding dengan kelaparan manusia, lapar ular ini menjadi amat sederhana walau ia sanggup menelan gajah sekalipun!

Tengkorak Di Spion Mobil

Posted February 28, 2008 by hio
Categories: .: Artikel

Umumnya, di spion mobil, tepat di atas kemudi, biasa digantungkan simbol-simbol keagamaan sesuai dengan agama pemiliknya. Saya pun hampir tergoda untuk memasangnya, sesuai dengan agama yang saya anut. Tetapi demi melihat banyaknya orang korupsi, begitu banyak orang gagal berdisiplin di jalan raya, begitu banyak orang buang sampah sembarangan, niat itu saya terpaksa batalkan.

Saya kok jadi tak enak hati, jika simbol-simbol keagamaan begitu banyak dimanfaatkan, tetapi pada saat yang sama, kerusakan juga ramai diperagakan. Di negara saya, separo dari kecelakaan dicurigai bukan hasil bencana murni, tetapi akibat kelalaian. Ada pesawat yang kehilangan navigasi tetapi diminta ngotot harus diterbangkan, cuma karena alasan keuntungan perusahaan. Ada mobil yang begitu lambatnya berjalan di jalur cepat ternyata karena pengendaranya sibuk berkirim SMS. Ada sungai yang sedang dikeruk sampahnya, tetapi sampah baru tetap dibuang pada saat yang sama.

Di perempatan ketika lampu merah sedang menyala, ada bus yang begitu tidak sabarnya sehingga bisa mengusiri siapa saja yang sedang mencoba berhenti dengan klaksonnya yang tidak cuma menyakitkan kuping, tetapi juga menyakitkan hati. Inilah pelanggaran yang dikerjakan bukan cuma dengan begitu terbuka, tetapi juga dengan segenap kebanggaan. Saya bayangkan, pada saat seperti itu, akan ada polisi gagah berani mengejarnya, mencabut izin mengemudinya, dan kalau perlu mencabut izin perniagaan bus yang berbahaya ini.

Tetapi karena harapan saya ini tak pernah terkabul, maka satu-satunya jalan, saya hanya bisa mengadu kepada Tuhan. Mengadu sambil mohon ampun, betapa untuk urusan seremeh itu pun, saya harus mengadu kepadaMu. Apa boleh buat, di negara ini, Tuhan masih harus sering diminta turut campur, karena mudahnya kita terancam putus asa dan patah hati.

Tapi di jalan dengan kebrutalan seperti itulah sekaligus mudah ditemukan mobil-mobil dengan simbol keagamaan. Saya sebetulnya menyukai simbol-simbol itu, tetapi lagi-lagi, ketika kekacauan jalanan begitu tinggi, dan ia tak cukup dikalahkan cuma dengan memasang simbol, niat saya untuk ikut-ikutan itu lalu terhenti. Untuk sekian lama, mobil keluarga kami sepi simbol, termasuk spion di atas kemudi itu.

Tapi segalanya berubah ketika anak bungsu saya membeli mainan berupa tengkorak lengkap dengan seluruh tulang belulangnya, entah darimana idenya. Malangnya cuma satu cara saja agar tengkorak ini bisa bergerak sesuai dengan keinginan pembuatnya, yakni dengan cara menggantungnya. Malangnya, cuma satu gantungan yang cocok jika harus ditaruh di dalam mobil, yakni di cuma dalam spion itulah, tempat biasanya digantung simbol agama.

Jadi sementara mobil lain tampak begitu beriman, mobil kami malah tampak begitu horornya. Semua ini gara-gara kelakuan anak saya yang baru saja lepas balita itu. Hampir saja saya marah dan meminta ia melepas tengkorak itu. Setidaknya, walau kami tidak menyimbolkan diri sebagai orang saleh, tetapi jangan sampailah dianggap sebagai orang sesat, karena tengkorak ini.
Tapi demi melihat anak saya tertawa-tawa setiap kali tengkorak itu berlenggak-lenggok, niat ini batal pula. Tergerak juga saya melihat-lihat gerakan ini, dan akhirnya malah terpancing juga untuk geli. Tulang belulang saja masih sok gaya. Sungguh tulang tak tahu diri. Mirip koruptor yang pamer kekayaan, sementara setiap orang begitu jelas menatap seluruh belangnya.

 Oleh : Prie GS – Budayawan dan penulis SKETSA INDONESIA

Dengan pendekatan ini, saya mulai bisa berdamai dengan tengkorak salah jurusan ini. Oo bukan itu saja, ternyata anak saya secara tak sengaja mengisyaratkan sebuah simbol yang mestinya dipasang di seluruh mobil di Indonesia, karena ia mengingatkan bahaya yang nyata di jalanan yang ganas ini. Kita boleh telah berhati-hati, tapi jika mobil tetangga blong remnya, terpaksa mati juga! Maka sambil mengemudi, setiap kali kami bisa menatap tengkorak yang sok gaya ini. Ia bukan cuma mengingatkan pentingnya berhati-hati, tetapi juga inilah cara praktis untuk mengingat kematian tanpa harus repot berziarah ke kuburan!

Tentang Tiga Perjalanan

Posted February 28, 2008 by hio
Categories: .: Artikel

Oleh : Prie GS – Budayawan dan penulis SKETSA INDONESIA

Dua kali acara TV itu terlihat, dua kali saya mendapat nasihat. Ia tentang seorang pesohor muda yang melengkapi rumahnya dengan fasilitas untuk berkumpul banyak orang. Ketika tamu di rumahnya itu sebagian besar adalah anak-anak inilah kurang-lebih pernyataannya: ”Perjalanan yang paling mulia adalah perjalanan ke tempat ibadah. Perjalanan paling baik adalah perjalanan ke tempat kerja. Dan… perjalanan paling menentramkan adalah perjalanan menuju rumah.”

Di hari yang lain, di acara dan televisi yang sama, yang juga terlihat secara tak sengaja saya dengar pernyataannya. Saat itu, ia sedang kedatangan tamu-tamu tuna netra; ”Kita semua memiliki tiga mata. Mata beneran untuk melihat, mata hati untuk merasa, dan mata kaki untuk melangkah menuju perbuatan.” Saya mengagumi anak muda ini, tapi soal dia akan saya tulis lain kali. Kita langsung menuju nasihatnya saja.

Kita mulai dari nasihat pertama, tentang tiga jenis perjalanan itu, perjalanan termulia, yakni berjalan ke tempat ibadah. Jadi barang siapa rampung beribadah tidak juga menjadi mulia, berarti yang mulia cuma perjalanannya. Manusianya bisa tetap seperti sedia kala.

Perjalanan kedua adalah perjalanan terbaik, yakni ketika seseorang berangkat kerja. Jadi kerja adalah pusat kebaikan. Maka jika ada orang bekerja hasilnya malah masuk penjara, ia pasti sedang mengingkari hakikat pekerjaannya. Jika ada sopir bus masih tega mengencingi pintu busnya sendiri, dan jika ada pegawai enggan merawat kendaran dinasnya, ia tak layak mendapat kebaikan dari pekerjaannya.

Perjalanan ketiga, ini menurut saya perjalanan yang tidak cuma menenteramkan tetapi juga menyenangkan yakni berjalan menuju rumah, pulang, kepada keluarga. Mak barang siapa punya rumah dan keluarga tetapi tidak memiliki ketenteraman,  sesungguhnya ia sedang tidak memiliki apa-apa. Maka siapa saja yang bermain api dengan keluarganya, ia sedang berjudi dengan hidup dan matinya.

Padahal sejauh pengamatan saya, untuk mengakses kebahagaian keluarga ini cuma butuh tindakan-tindakan  sederhana. Saya, misalnya, langsung mendapatkan kebahagiaan yang nyaris penuh dari istri saya, ketika ia saya biarkan mengerti seluruh duit yang saya peroleh dan kepadanya sering saya perintahkan  mengobrak-abrik dompet saya. Hasilnya luar biasa. Ia segera mengggap saya sebagai  lelaki setia dan terpercaya karena tak butuh ”uang laki-laki”. Di masa lalu, uang laki-laki ini biasa ditaruh di lipatan kaos kaki, di saku-saku rahasia dan di tempat-tempat tersembunyi lainnya. Tujuannya jelas, agar ia digunakan sesuka hati tanpa diketahui istri.

Dampak uang laki-laki ini ternyata dahsyat sekali, terutama jika ia dipergoki. Istri bisa berimajinasi macam-macam dari imajinasi ringan, berat atau sedang. Imajinasi ini sungguh biang bahaya karena sudah dibimbing oleh bibit ketidak percayaan. Di mata istri, kenapa  suami menyimpan uangnya secara sembunyi hanya punya satu alasan: semua ini cuma demi kepentingannya sendiri.  Dan ego semacam ini  hanya mungkin dijalankan dengan dua cara: secara diam-diam atau dengan menyiapkan kebohongan. Dan inilah bahaya bohong, ia tidak mengenal berat dan ringat karena jika ketahuan selalu meninggalkan bekas yang dalam. Batu pertama untuk saling tidak percaya telah diletakkan.

Hidup bersama yang sudah  tidak saling mempercayai adalah sumber dari seluruh tragedi. Jika serumah sudah  tidak saling percaya, maka di dalam satu selimut pun tidak akan saling meraba.  Ketika inilah rumah akan berubah fungsi dari pusat ketentraman menjadi pusat kegaduhan. Seseorang yang gagal menentramkan rumahnya sendiri, sulit untuk diharap membuat kebaikan di  dalam pekerjaan dan membuat kemuliaan di dalam peribadatan.